Pilkada serentak tahun 2018 semakin meningkatkan sensitifitas masyarakat terkhusus didaerah-daerah yang mengadakan pesta demokrasi. Panasnya dinamika politik yang terjadi tidak terlepas dari kondisi Pilkada Jakarta yang berlangsung tahun lalu. Aroma-aroma politik Identitas yang terjadi di Ibukota seakan-akan lahir kembali di beberapa daerah terkhusus di Wilayah Sumut yang merupakan daerah domisili penulis.
Penulis melihat secara langsung bahwa isu-isu kotor berbau SARA sangat kental terasa tidak hanya di sosial media tetapi sampai juga ke akar rumput. Masyarakat seakan terkotak-kotak oleh ulah beberapa oknum-oknum yang haus kekuasaan sehingga menghalalkan segala cara untuk mendapatkan kemenangan. Politik identitas tidak hanya berupa postingan di sosial media sampai-sampai spanduk besar yang kental makna SARA menghiasi beberapa pusat-pusat jalan protokol kota Medan.
Meskipun Pilkada sudah masuk masa tenang tetap saja ada kelompok-kelompok yang secara blak-blakan menggoreng-goreng isu SARA melalui spanduk-spanduk besar. Seharusnya pihak-pihak pengelola papan reklame dan dinas terkait di Pemerintah Daerah teliti memperhatikan konten yang dipublikasi pada papan reklame.
Melihat kasus ini terkesan ada unsur kesengajaan baik itu secara sadar ataupun tidak sadar. Masa iya spanduk besar dapat terpampang di papan reklame yang jelas sudah dikomersilkan serta dipungut pajak. Analisis, dikatakan dengan sadar bahwa pihak-pihak terkait memang sengaja melakukan pembiaran spanduk besar itu dipublikasi tidak hanya demi materi. Ada kemungkinan pihak-pihak tersebut sudah tidak netral dan merupakan pendukung salah satu Paslon yang diuntungkan dalam kasus ini.
Dikatakan kesengajaan dengan tidak sadar adalah pihak-pihak terkait tidak menjalankan regulasi yang ada, yaitu melakukan pengecekan tiap-tiap spanduk yang ingin dipublikasi didalam papan reklamenya. Pengelola hanya mengutamakan materi padahal dengan adanya kecerobohan ini akan berdampak buruk. Spanduk besar kontroversial itu menuai pro dan kontra dari masyarakat sampai ada yang memberikan kecaman.
Berikut penulis sertakan petikan berita yang dilansir dari medan.tribunnews :
Memasuki masa tenang jelang pencoblosan Pilgub Sumut 2018, Minggu (24/6/2018), spanduk larangan memilih pemimpin kafir bertebaran di beberapa jalan protokol Kota Medan. Informasi yang diterima www.tribun-medan.com, spanduk ini terpampang antara lain di Ring Road, Dr Mansyur, Simpang Gaperta. Spanduk ini sama seperti yang sebelumnya dipajang di depan Masjid Al Jihad menghadap Jl Abdullah Lubis. Namun setelah viral di medsos, spanduk ini dibentangkan menghadap ke masjid, bukan ke Jl Abdullah Lubis. Nah yang terjadi saat ini malah spanduk terbentang di jalan-jalan protokol Kota Medan. Dalam spanduk tertulis logo DPW BKPRMI Provinsi Sumut.
Masyarakat sangat dirugikan dengan banyaknya terpampang spanduk-spanduk kontroversial berbau SARA di wilayah kota Medan yang merupakan ibukota Provinsi Sumut. Tidak hanya masyarakat saja, Paslon Djoss yang bertarung dalam kontestasi Pilkada Sumut saat ini ikut juga merasakan dampak meskipun tidak mempengaruhi secara sistemik. Djoss merasakan pengaruh karena calon wakil merupakan non muslim. Meskipun demikian penulis melihat spanduk tersebut tidak sukses memecah belah masyarakat di akar rumput.
Berbagai cara dilakukan untuk memfitnah Paslon nomor urut 2 ini, selain Politik Identitas Djoss juga difitnah membagi-bagikan sembako. Padahal informasi yang sebenarnya adalah Samsul Arifin (SA) mantan Gubernur Sumut yang beberapa tahun lalu mengendap di hotel Prodeo karena kasus korupsi yang dilakukan pada saat beliau duduk menjabat bupati kabupaten Langkat bukan pas sebagai Gubernur Sumut. Berbeda hal dengan Gatot PN kader PKS yang melakukan korupsi pada saat duduk di kursi empuk pemerintahan Provinsi Sumut.
Syamsul Arifin (SA) angkat bicara dan memberikan keterangan terkait sembako bergambar dirinya di Jalan Puri Gang Buntu, Kelurahan Kota Matsum, Kecamatan Medan Area. SA menepis semua isu yang beredar yang mengaitkan pembagian sembako olehnya terkait Pilgub Sumut. SA mengatakan acara halalbihalal tersebut telah dilakukannya setiap tahun.
"Ini sudah tradisi setiap tahun, dahulu aman-aman saja, sekarang juga begitu, kalau dibilang kampanye orang tidak ada satu pun gambar paslon serta penyampaian visi misi kok," ujarnya melalui jaringan seluler kepada tribun-medan.com, Selasa (26/6/2018)."Saya bukan paslon, kenapa harus dikaitkan-kaitkan. Saya tidak terdaftar di timses mana pun, ada-ada aja itu," Sumber medan.tribunnews
SA akan mempelajari tentang asal muasal berkembangnya isu fitnah ini. Beliau juga menegaskan akan mempolisikan oknum-oknum yang dengan sengaja menyebarkan isu fitnah yang jelas merupakan isu hoaks. Penulis sangat sepakat dan mendukung SA bila mengambil keputusan akan melaporkan oknum-oknum perusuh yang ingin merusak kedamaian di negara ini terkhusus di Sumut.
Meningkatnya tensi dinamika politik saat ini tidak tertutup kemungkinan disebabkan oleh pernyataan-pernyataan tidak berdasar dari pihak-pihak Paslon. Pernyataan kontroversial tersebut disampaikan salah satu petinggi PAN Sumut yang menyatakan hanya kecurangan dapat mengalahkan Paslon yang didukungnya. Sahabat Pembaca pasti sudah tahu siapa yang didukungnya.
Bagaimana kita dapat menghasilkan pemimpin bersih dan berintegritas bila proses Pilkada banyak dipenuhi cara-cara tidak beradab dengan menyebarkan pernyataan tanpa data serta menebarkan fitnah. Katanya manusia yang beragama tetapi dengan gampangnya memfitnah orang lain tanpa konfirmasi terlebih dahulu untuk mengetahui kebenarannya.
Bagi masyarakat Sumut yang memiliki hak pilih jangan sampai anda salah menentukan pilihan pada Pilkada ini. Pilihlah pemimpin yang berintegritas, cerdas, berpengalaman, dan yang pasti tidak kasar terhadap rakyat. Jangan sampai kesalahanmu 5 menit pada saat memilih akan merugikanmu sampai 5 tahun kedepan. Mau Presiden Jokowi 2 Periode maka pilihlah Djoss sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut.
Begitulah Kira-Kira
0 Response to "Spanduk Nuansa SARA Betebaran, Djoss Difitnah Bagi Sembako, Samsul Arifin Tegaskan Bukan Timses"
Posting Komentar