"Terima Kasih telah berkunjung ke blog ini. Jangan lupa Share dan Comment ya"
loading...

Ngaku Sendiri, Gerindra : Sumut Dipengaruhi Politik Identitas, Tercium Intrik Politik


Hampir diseluruh daerah memang pemenang Pemilu sudah dapat diprediksi sejak sebelum pemungutan suara diadakan. Lembaga survey kredibel telah membuktikan bahwa Paslon yang mereka prediksi sejak awal akhirnya meraih kemenangan versi Hitung Cepat (Quick Count). Meskipun demikian keputusan akhir tetap ditangan penyelenggara Pemilu yakni KPU.
Salah satu daerah yang diprediksi ketat persaingannya adalah Sumatera Utara. Head to head antara Eramas dengan Djoss sangat ketat menurut hasil survey sebelumnya. Lembaga survey mempublikasi hasil survey bahwa perolehan suara antar kedua Paslon selisih 1 sampai 2 persen. Berbanding terbalik dengan kenyataan, melihat hasil hitung cepat oleh beberapa lembaga survey tampak bahwa Djoss dapat dikatakan kalah telak dibandingkan pesaingnya. Tapi yang perlu kita garis bawahi bahwa hitung cepat bukan merupakan keputusan mutlak.
Salah satu lembaga survei, yaitu LSI Denny JA, selesai menggelar penghitungan cepat Pilgub Sumut tahun 2018 yang hasilnya menempatkan pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah (Eramas) sebagai pemenang. Hasil Hitung Cepat menempatkan Eramas memperoleh suara sekitar 56,91% sedangkan pesaingnya Djoss memperoleh suara sekitar 43,09%. Posisi suara hampir sama dengan hasil Pilkada Jakarta tahun yang lalu.
Satu hal yang membuat miris bahwa kontestasi Pilkada di Sumut secara terang benderang sangat dipengaruhi oleh Politik Identitas. Secara blak-blakan ada kelompok yang menggoreng Isu SARA meskipun waktu sudah masuk dalam masa tenang. Spanduk-spanduk besar yang dipampang di papan reklame menghiasi beberapa jalanan protokol kota Medan. Narasi yang dibangun didalam Spanduk tersebut sangat kental aroma SARA.
maraknya Politik Identitas dalam Pilkada Sumut juga diakui oleh mantan aktifis mahasiswa tahun 1998 yang saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Umum Partai Gerindra. Waketum yang bernama Ferry Juliantono menanggapi kemenangan pasangan Edy Rahmayadi dan pasangannya di Sumut, menunjukkan bahwa perilaku pemilih dan rasionalitas masyarakat Sumut sangat dipengaruhi oleh pembentukan opini yang ada berkaitan soal Politik Identitas. Sumber Detik.com
Pembentukan Opini bernuansa Politik Identitas sudah sangat jelas dimainkan oleh kubu-kubu yang haus akan kekuasaan. Mereka sangat ambisi untuk meraih kekuasaan dengan menghalalkan segala cara meskipun akan membuat masyarakat diakar rumput terkesan terpecah belah dan terkotak-kotak. Toleransi yang sangat dipegang teguh masyarakat Sumut seakan dikotori oleh kubu haus kekuasaan. Intrik-intrik politik dijalankan demi meraih kemenangan, katanya jangan gadaikan Iman, padahal kenyataan malah sebaliknya apapun dilakukan untuk meraih kekuasaan.

Penulis yang memang domisili di Wilayah Sumut merasakan sendiri bagaimana kondisi akar rumput saat ini seakan memiliki jarak. Perbedaan SARA terkesan tampak nyata oleh karena Pilkada kali ini. Penulis melihat langsung ada beberapa permasalahan krusial yang terjadi pada saat pemungutan suara, independensi dari penyelenggara Pemilu tingkat TPS perlu dipertanyakan. Penulis merangkum beberapa permasalahan yang terjadi :
Pertama, Penulis menemukan ada Oknum Petugas Pemungutan Suara (PPS) ditingkat TPS yang tidak netral dengan mengarahkan Pemilih untuk memilih salah satu Paslon. Pernyataan yang penulis dengar langsung adalah “Pak/Bu, cucuk aja kepala nomor 1 itu biar tahu rasa dia sakitnya”dan ada juga kalimat yang disampaikan “Pak/Bu, sudah tahu kan yang mau dicucuk, nomor 1 saja ya”. penulis tidak tahu persis kenapa Panwas dan PPS yang lainnya hanya diam saja tidak menegur oknum tersebut, apa karena mereka tidak dengar atau memang pura-pura tuli.
Kedua, PPS tidak paham atau memang pura-pura tidak paham tentang mekanisme pemungutan suara. Salah satu kasusnya adalah masyarakat yang memilih memakai surat A5 karena memiliki halangan memilih dikampung halamannya terkesan dipersulit padahal Peraturan KPU sudah memberikan ruang yang seluas-luasnya dengan mengikuti prosedur yang berlaku.
Seharusnya berdasarkan Peraturan KPU (bila penulis salah sahabat pembaca bisa koreksi) bahwa yang menggunakan A5 bisa menggunakan hak politik pada pukul 07.00 – 13.00 WIB. Tetapimasyarakat yang menggunakan A5 malah diarahkan ke pukul 12.00 – 13.00 WIB. Seakan-akan pengguna A5 tidak terdaftar di DPT padahal surat A5 diberikan karena sudah terdaftar di DPT. (TKP : TPS Penulis menggunakan hak politik)
Ketiga, Masyarakat banyak yang tidak terdaftar di DPT padahal Pemilu sebelumnya terdaftar. Sejak lahir sampai berumah tangga masyarakat tersebut sudah bertempat tinggal didaerah yang sama. Penulis tidak ketahui masalah teknis dan administratifnya seperti apa tetapi sungguh sangat tidak masuk akal bila masyarakat lama (kasarnya bisa kita katakan sudah berkarat) didaerah ini malah tidak terdaftar di DPT. Penulis menilai ada aroma-aroma kesengajaan dalam kejadian ini.
Keempat”,Masyarakat sudah masuk DPT dan memiliki KTP elektronik malah tidak dapat undangan (kalau tidak salah surat C6). Kasus ini tidak hanya di TPS penulis, tetapi hampir merata terlihat dari jeritan-jeritan rakyat baik secara langsung maupun di sosial media.
Masalah-masalah krusial seperti diatas harusnya segera diselesaikan oleh penyelenggara Pemilu. Kondisi yang mengecewakan ini jangan dibiarkan berlarut-larut. Masyarakat sudah sadar akan hak politiknya tetapi terkesan dihadang oleh oknum-oknum yang belagak paham regulasi padahal mereka pun perlu belajar banyak tentang mekanisme penyelenggaraan pemilihan suara .
Salam Perubahan

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Ngaku Sendiri, Gerindra : Sumut Dipengaruhi Politik Identitas, Tercium Intrik Politik"

Posting Komentar