Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, menurut Sandi, harus mengantisipasi masalah gangguan kejiwaan di Ibukota. Caranya dengan mendirikan pusat kajian masalah kejiwaan, Jakarta Institute for Mental Health. Pusat kajian masalah kejiwaan tersebut rencananya akan didirikan di Rumah Sakit Khusus Daerah (RSKD) Duren Sawit, Jakarta Timur.
Penulis mengakui memang rancangan program kerja penguasa DKI zaman now untuk menyelesaikan masalah gangguan jiwa merupakan langkah maju dan limited edition di Indonesia, bila dibandingkan dengan daerah lain yang tidak memikirkan rakyatnya yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Makanya sering kita melihat langsung ada masyarakat yang mengalami gangguan jiwa berkeliaran dijalanan. Pemimpin Daerahnya hanya cuek saja melihat realitas ini.
"Ada 20 persen warga Jakarta yang mengalami gangguan kejiwaan. Jadi di sini, di antara teman-teman kita, (misalnya) ada 10 orang, ada dua yang jiwanya terganggu, mungkin saya salah satunya," kata Sandiaga di Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (23/1/2018). Ia menyampaikan, gangguan kejiwaan bisa terjadi karena beberapa faktor, seperti beban hidup di Jakarta, tekanan ekonomi, tekanan sosial, hingga pendidikan. Dia menyebutkan, gangguan kejiwaan bisa memicu aksi bunuh diri. Sumber tribunnews.com
Masalah ekonomi tidak dapat kita pungkiri merupakan faktor yang paling banyak menghantarkan manusia dizaman milenial ini menjadi depresi dan bisa saja akan mengalami gangguan jiwa akut, sering kita sebut dengan istilah gila. Faktor kedua yang menghantarkan manusia banyak mengalami gangguan jiwa terkhusus didaerah perkotaan adalah interaksi sosial antar individu sudah semakin menurun, sehingga tekanan sosial meningkat.
Saling berkomunikasi antar individu masyarakat dan sharing terkait masalah hidup sangat berdampak positip untuk mengurangi beban kehidupan yang memang tidak dapat dihindari. Perubahan kondisi sosial dimasyarakat sering kita menganggap sepele, padahal bisa menghantarkan terjadinya disintegrasi sosial. Buktinya masih banyak kita menemukan adanya konflik fisik, tidak hanya dipelosok saja sampai-sampai wilayah metropolitan yang sudah mengalami kecanggihan zaman tidak dapat mengantisipasinya.
Memang persentase konflik fisik sudah semakin berkurang, tetapi konflik fisik tersebut berubah wujud berbanding lurus dengan perubahan zaman. Undang-Undang sudah semakin diperbaiki untuk mengantisipasi benturan fisik di masyarakat, sehingga manusia tidak seberani dulu kalau tidak senang langsung gas saja. Pada zaman saat ini yang sering terjadi malah konflik verbal serta konflik cyber yang sangat kental kita rasakan bersama.
Perubahan sosial tersebut bila tidak segera diberikan vaksinasi terbaik serta membunuh virus penyebab masalah. Maka kita tidak akan dapat mengantisipasinya dikemudian hari karena sudah merajalela, sehingga efeknya akan terjadi disintegrasi sosial di masyarakat. Jadi solusi terbaik jangan pandang sepele permasalahan ini, karena menganggap remeh dapat menghancurkan negeri ini.
Kita tidak dapat pungkiri bahwa konflik verbal maupun konflik cyber di Indonesia sangat dipengaruhi oleh kondisi Pilkada DKI beberapa bulan lalu. Kondisi perpolitikan perebutan kursi kekuasaan Ibukota yang menghalalkan segala cara menjadi berdampak negatif tidak hanya di DKI saja, paling menyedihkan seluruh penjuru Indonesia ikut terkena dampak negatifnya.
Kata-kata diskriminatif dan ujaran kebencian yang dilakukan aktor-aktor sumbu pendek bumi datar telah menyakiti hati masyarakat yang menghargai perbedaan di negeri ini. Sehingga isu-isu pepecahan tersebut mengganggu stabilitas negeri ini. Akhirnya tekanan sosial ini dapat mengakibatkan gangguan kejiwaan.
Bagaimana mengantisipasi permasalahan gangguan jiwa kalau Pemimpin Daerahnya mengakui sendiri bahwa ada kemungkinan dirinya juga mengalami gangguan jiwa. Kali perdana diseluruh penjuru bumi ada seorang manusia yang menyadari dirinya mengalami gangguan jiwa. Wagabenernya saja sudah terganggu jiwanya belum bisa disembuhkan, gimana mau sembuhin rakyatnya yang terkena gangguan jiwa ? Ha ha ha
Pantesan saja ada kebijakan aneh yang dilaksanakan di Ibukota, salah satunya alihfungsi jalan raya menjadi pasar raya. Ide gila yang dilaksanakan ini berdampak menambah kesemrawutan di Ibukota. Alih-alih mau selesaikan masalah masyarakat tetapi dengan memperkeruh kondisi sosial ekonomi diakar rumput.
Sungguh ironis sahabat Pembaca, seharusnya akar permasalahan ekonomi dan tekanan sosial yang terlebih dahulu diselesaikan bukan sekonyong-konyong mau selesaikan masalah gangguan jiwa tapi akar masalahnya tidak terselesaikan. Ibarat kita mau bersihin limbah di sungai, tetapi pabrik yang menyalurkan limbah tidak kita hentikan. Sama saja tindakan yang kita lakukan itu sia-sia.
Bila kebijakan yang akan direalisasikan tersebut hanya kesia-siaan, maka anggaran yang akan digelontorkan dalam program ini merupakan pemborosan anggaran. Mending sembuhin dulu deh kondisi kejiwaan sang Wagabener, baru kita berbicara yang lebih besar. Wagabener kalau sudah pulih menjadi salah satu referensi konkrit penyelesaikan masalah gangguan jiwa di Ibukota.
Begitulah Kira-Kira,
SALAM WARAS
0 Response to "Sandi : Warga 20 Persen Gangguan Jiwa Kemungkinan Termasuk Saya"
Posting Komentar