Kebijakan-kebijakan yang telah dibuat dan diputuskan oleh pasangan pemimpin Anies-Sandi banyak yang bersifat kontroversial sehingga menuai pro dan kontra di kalangan elit maupun masyarakat di akar rumput. Pemimpin yang menyuarakan jargon Keberpihakan ibarat jauh panggang dari api. Kenyataan yang terjadi di lapangan paska dilantik sebagai penguasa DKI. Jakarta dalam 1 (satu) bulan ini membuktikan bahwa semua yang disampaikan hanya manis pada masa kampanye saja, kedepannya kita tinggal menunggu waktu sepah akan dibuang begitu saja.
Karena tujuan menjadi pemimpin adalah merebut kekuasaan bukan untuk melayani masyarakat yang akan dipimpinnya. Namanya saja merebut kekuasaan pasti akan berbanding lurus dengan kenyataan kinerja dan kebijakan-kebijakannya sangat elitis dan bergaya sombong. Jargon keberpihakan akhirnya semakin terbaca bukan untuk masyarakat umum di akar rumput.
Salah satu kebijakan yang membuktikan bahwa karakter kedua pemimpin ini elitis dan sombong adalah dengan kebijakan mengalihkan ke Kecamatan ataupun Kelurahan bagi masyarakat yang ingin melaporkan dan menyampaikan keluhan, Kebijakan ini sangat kontras bila dibandingkan dengan diperiode sebelumnya. Maaf bukannya gagal move on tetapi ini adalah salah satu bukti bahwa Ahok berbeda kelas dengan Anies, Ahok kelas merakyat dan Anies kelas elitis.
Periode kepemimpinan sebelumnya, Tidak hanya masyarakat DKI. Jakarta malah masyarakat dari luar wilayah Ibukota sering datang untuk menyampaikan keluh kesahnya padahal bukan pemimpin daerahnya. Kejadian seperti ini sudah menjadi bukti bahwa masyarakat diakar rumput merindukan tatap muka dan sharing langsung dengan pemimpinnya.
Tujuan Ahok membiarkan warga berbaris di pintu masuk ruang kerjanya di Balaikota agar bisa mengetahui apa yang terjadi dengan warganya. Ahok membiarkan dirinya mendengar langsung keluhan dan kesulitan warga secara langsung. Bahkan Ahok akan mengambil keputusan secara langsung terkait laporan-laporan warga itu. Ahok juga bisa langsung memerintahkan pejabat terkait menindaklanjuti, bahkan lekas memarahi pejabat terkait apabila dinilainya ngawur.
Hal ini menimbulkan efek gertak bagi seluruh pejabat di Pemerintahan Provinsi DKI. Jakarta sampai di level lurah. Pejabat jadi takut karena Ahok bisa mendengar langsung laporan warga secara terbuka. Akibatnya Ahok jadi sosok pimpinan yang tak bisa dibohongi dan juga dapat dipastikan disegani anak buahnya.
Masyarakat yang sudah terbiasa melaporkan keluhanannya langsung ke Gubernur pada pemerintahan Ahok sebelumnya. Pada periode saat ini harus mengelus dada dan menggigit jari karena kebijakan baru dari pemimpin yang berjargon Keberpihakan ini akan menutup pintu bagi masyarakat umum yang ingin menyampaikan keluhan langsung ke Balaikota. Maka setiap keluhan dan laporan diarahkan ke pihak Kecamatan ataupun pihak Kelurahan.
Berikut petikan berita yang penulis jadikan rujukan :
“Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan (Anies) – Sandiaga Uno (Sandi) dinilai bergaya elitis, sombong, dan membuat Jakarta mundur soal keterbukaan dan pelayanan pemimpinnya secara langsung.
Hal itu lantaran Anies-Sandi memindahkan pelaporan warga ala Ahok dari Balaikota ke Kelurahan. Ketua Pusat Kajian Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahardiansyah yang memberikan penilaian tersebut.
Dengan pemindahan Anies-Sandi akan kehilangan masukan langsung dari warga sebab memutus hubungan lewat ritual di Balaikota DKI yang dilakukan Ahok setiap pagi. “Ini gaya elitis. Anies Sandi mensakralkan kembali Balaikota seperti era orde baru. Ini kemunduran bagi Jakarta,” tutup Trubus.”
Sumber wartakota.tribunnews.com
Kebijakan ini memang jelas adalah sebuah kemunduran bagi DKI. Jakarta terkait keterbukaan dan pelayanan pemimpinnya secara langsung. Dalam menjalankan roda kepemimpinan kebijakan ini akan berdampak negatip kedepannya. Anies-Sandi akan menjadi mudah dibodoh pejabat di level bawah, pejabat tak lagi segan, masyarakat akan bersikap acuh dan masyarakat akan menelan kekecewaan.
Kita sudah ketahui bersama seperti apa respon dan penyelesaian yang akan diterima oleh masyarakat bila menyampaikan keluhan melalui tahapan secara struktural. Proses penyelesaian masalah akan berjalan sulit dengan prosedural yang panjang bila keluhan itu memang disampaikan oleh pejabat dibawah. Bagaimana bila keluhan itu dibuang ke tong sampah pasti tidak akan ada solusi ataupun penyelesaian yang didapatkan oleh masyarakat.
Misalnya masyarakat mengeluhkan tentang kinerja pegawai Kelurahan dan Kecamatan. Keluhan disampaikan langsung ke pegawai yang berada di kantor tersebut, biasanya keluhan itu tidak akan dihiraukan karena yang dikritik adalah pihak kantor. Ibarat masuk telinga kanan keluar di telinga kiri dan sebaliknya. Kalau masuk masih bermanfaat ketika pegawai tersebut nantinya sadar akan kinerjanya.
Bisa saja keluhan tersebut tidak masuk ketelinga kanan maupun kiri alias keluhannya memantul dari telinga. Dalam hal ini dapat dipastikan rakyat akan menjadi korban sehingga menuai kekecewaan. Apa yang penulis sampaikan ini berdasarkan realita yang ada di lapangan, Fakta-fakta seperti yang disampaikan diatas hampir merata di seluruh daerah Indonesia.