Walaupun memang beberapa kali terjadi tindakan intoleransi yang dilakukan segelintir manusia tetapi tetap saja mayoritas rakyat Indonesia masih menghargai kebhinekaan.
Kasus ini terjadi di Rumah Susun Pulo Gebang daerah Provinsi DKI. Jakarta yang akan dipimpin oleh gubernur baru. Menurut beberapa sumber peristiwa terjadi di Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) Daniel Jakarta.
Kejadian intoleransi ini menjadi nila setitik yang dapat merusak susu sebelanga jika tidak segera diberangus dan orang-orang yang bertindak sesuka hatinya menganggap kebenaran hanya ada pada dirinya harus segera diberi pembelajaran ataupun hukuman yang dapat memberi efek jera.
Tapi apa daya saya penulis jadi kecewa dengan penyelesaian perkara hanya dengan surat pernyataan bahwasanya pelaku sedang khilaf dan meminta maaf dapat menyelesaikan masalah yang sangat fatal dan dapat menyebabkan stabilitas keamanan negeri ini dapat terguncang.
Selain keamanan negeri ini terguncang tindakan pelaku dengan membawa gergaji dan kapak sambil teriak-teriak dengan nada menekan terhadap mereka yang sedang beribadah. Pada saat kejadian anak-anak dibawah umur yang sedang mengikuti ibadah sabtu ceria.
Jelas tindakan intoleransi dan anti kebhinekaan yang dilakukan pelaku mengakibatkan trauma bagi anak-anak yang sedang beribadah. Efek trauma yang dirasakannya itu dapat merusak psikologis dan mental anak-anak yang yang menjadi korban tersebut.
Saya jujur menilai kasus ini sangat jelas bukan khilaf tapi sudah direncanakan dan ada kesengajaan. Unsur yang menguatkan bahwa ini adalah tindakan terencana adalah salah satunya dengan pelaku membawa gergaji dan kapak untuk mengancam dan teriak-teriak pada saat ibadah Sabtu Ceria di Rumah Susun Pulo Gebang.
Jika memang khilaf dan spontanitas pelaku tersebut pasti datang ke TKP tidak membawa alat-alat yang bisa saja dipergunakan untuk melakukan penganiayaan. Jelas sekali tindakan pelaku tersebut bermotif pengancaman dan dalam undang-undang negeri ini itu sudah termasuk unsur pidana.
Motif sudah jelas melakukan pengancaman dan juga melanggar HAM dalam kebebasan tiap-tiap warga negara untuk beribadah. Seharusnya pihak aparat kepolisian sudah dapat menindaklanjuti kasus ini selain memenuhi unsur pidana dan juga sudah viral di media sosial.
Jika tetap dilakukan pembiaran dengan pelaku hanya melakukan permintaan maaf secara tertulis dapat menyelesaikan perkara. Saya yakin kejadian ini dapat terulang kembali karena kaum bumi datar sumbu pendek memang telah terdoktrin untuk melakukan tindakan mengintimidasi dapat semakin berani bertindak sesuka hatinya dan menganggap kebenaran hanya pada apa yang mereka jalani dan pahami.
Berikut petikan permintaan maaf yang disampaikan pelaku yang disaksikan pihak pemerintahan yakni RT dan juga pihak Korban.
Surat Pernyataan
Yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : M. Nasoem Sulaiman
Alamat : Rusun Pulogebang. Blof F. No 309 RT 001/001. Pulogebang, Cakung, Jakarta Timur.
menyatakan bahwa kejadian di Rusun Pulogebang. Blof F, Lantai 3 Selasar, terkait kegiatan dari Keluarga Boy Palandeng (Inggrit/Inge) saya hilap karena kondisi baru pulang kerja.
Dan tidak akan mengulangi perbuatan seperti ini lagi.
Serta saya tidak ada dendam pada keluarga Inge.
Apabila kejadian serupa terulang lagi, saya bersedia dihadapkan pada yang berwajib serta pada kejadian ini saya pribadi minta maaf.
Merujuk kasus arogansi dan intoleransi yang dilakukan oleh pelaku yang menurut sumber media bernama M. Nasoem Sulaiman alias Joker. Saya menilai pihak aparat Kepolisian kurang tegas dengan menyelesaikan perkara ini hanya dengan surat pernyataan.
Jelas dengan penyelesaian seperti ini tidak akan memberikan efek jera terhadap pelaku dan mengembangbiakan jiwa-jiwa intoleransi.
Selanjutnya yang bisa menjadi alat bukti bahwa tindakan pelaku bukan khilaf bahwa tindakan pengancaman dan marah-marah ketika ada ibadah ini adalah yang ketiga kalinya. Sungguh sangat menyedihkan sahabat seword.
Dimana tindakan ini sudah ketiga kalinya tetapi tetap tidak diberikan sanksi hukuman atas perilaku tersangka yang telah kelewat batas dan dapat merusak tatanan kebangsaan saat ini yang memang sedang hangat-hangatnya isue PKI yang digoreng oleh kubu penggila dan perebut kekuasaan.
Berikut petikan pengakuan saksi tentang tindakan pelaku ini sudah ketiga kalinya yang saya kutip dari liputan6.com :
Menurut Ingrid, kejadian ini bukan hanya sekali. Joker yang juga koordinator lantai itu sudah dua kali melakukan aksi yang sama, saat dia menggelar ibadat di unit rusunnya.
“Ini udah ketiga kalinya dia marah-marah. Dulu pas saya ibadah di rumah dia juga marah-marah gak jelas. Padahal kita sudah izin ke RT, warga di sini kan ada tujuh blok A-H, enggak ada masalah, aman-aman aja,” kata dia.
Penutup
Melihat kasus-kasus intoleransi yang telah terjadi di NKRI dalam beberapa waktu terakhir ini saya melihat memang motif kejadian yang berbau SARA yang digoreng dan dipanggang oleh pemburu dan gila kekuasaan berimbas dengan banyaknya kaum bumi datar sumbu pendek yang tersulut kebencian akut. Kebencian akut yang telah tersulut tersebut melahirkan tindakan-tindakan intoleransi dan anti kebhinekaan.
Kejadian seperti ini kiranya menjadi pembelajaran bagi kita yang menginginkan kedamaian di negeri ini agar jangan gampang diprovokasi oleh mereka yang memang akan memanfaatkan kesempatan mencapai tujuannya dengan menikmati hasil kinerja oleh mereka yang tersulut kebencian akut.
Begitulah kura-kura
Salam Damai